Sabtu, 18 Desember 2010

TAKFIR

Sebut saja namanya Ahmad, seorang aktivis sebuah pergerakan Islam. Semangatnya dalam menuntut ilmu tidak diragukan. Ke manapun ada kajian keislaman ia ikuti. Haus akan keilmuan ini sebanding dengan usianya yang masih cukup muda, 17 tahun. Di kalangan teman-temannya, Ahmad termasuk pemuda rajin, tekun dan cerdas.
Ahmad amat tegas. Masyarakat menyebutnya pemuda yang radikal dan keras. Menurut Ahmad masyarakat sekarang banyak terjerumus dalam perbuatan bid’ah, khurafat dan takhayul, bahkan sampai pada tingkat kemusyrikan. Ahmad tidak mau bergaul dengan masyarakat. Jika di rumah ia selalu menyendiri, tidak mau keluar kecuali ke tempat ia biasa mengaji.
Dalam memandang pemerintah, Ahmad meyakini bahwa pemerintah ini adalah pemerintahan kafir. Menurutnya, semua komponen yang terlibat di dalamnya adalah KAFIR. Pemimpin tertingginya, para pembantunya, perangkat-perangkat di bawahnya, dan siapapun yang terlibat dengannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dinilainya telah KAFIR.
Lebih tegas lagi Ahmad meyakini, siapapun yang tidak mengkafirkan mereka, maka ia juga telah KAFIR. Hal ini disandarkan terhadap perkataan Syaikh Abdullah bin Abdul Wahhab berkenaan tentang 10 pembatal keimanan, yang salah satunya berbunyi, “Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu terhadap kekafiran mereka atau (justru) membenarkan madzhabnya maka ia telah KAFIR.”
Lain Ahmad, lain pula Atsari. Pemuda 30 tahun ini juga salah seorang aktivis muslim, namun ia tidak mau disebut aktivis. Menurutnya, kata-kata aktivis tidak ada dalam kamus Islam sehingga bernuansa bid’ah. Atsari sering mengikuti berbagai kajian keislaman, baik di daerah tempat tinggalnya atau di luar daerah. Pakaiannya khas, gamis panjang dengan celana di atas mata kaki. Atsari amat alergi dengan kata pergerakan, apalagi jihad dan perjuangan. Menurutnya, jihad tidak mungkin dapat dilakukan kecuali dalam jiwa kaum muslimin yang betul-betul bersih, murni, tanpa noda syirik maupun maksiat setitik pun.
Atsari bersikap agak permisif untuk orang-orang yang dengan bangga berbuat maksiat dan dosa-dosa besar yang terkadang bersifat menyeretnya sampai pada batas-batas riskan jatuh ke lubang kekafiran. Dia juga memandang bahwa mengkafirkan orang adalah tindakan yang sangat radikal dan hanya dimiliki oleh orang yang berfikiran dangkal. Makanya, dia lebih cenderung menghindari tindakan-tindakan demikian. Apalagi, kalau sudah menyangkut-nyangkut urusan sensitive tentang pemerintahan, dia memilih diam.
Dalam keyakinannya, selama seorang pemimpin masih menampakkan symbol-simbol keislaman, ia masih tetap muslim dan tidak boleh dilawan. Dengan kata lain, ia masih pemimpin muslim yang boleh ditaati, sekalipun system pemerintahan yang diberlakukannya, undang-undang yang diterapkannya diadopsi dari sumber-sumber kufur, di luar ajaran Islam.
Ilustrasi tadi berusaha menggambarkan fenomena yang dewasa ini cukup mengemuka di tengah masyarakat muslim. Muara yang hendak dituju ialah sikap kedua pihak dalam memposisikan persoalan takfir. Terutama, yang kerap menjadi persoalan pelik adalah pada tataran takfir mu’ayyan. Di mana, seringkali orang dihadapkan pada pertanyaan, apakah si fulan telah kafir karena melakukan demkian dan demikian.
Pembicaraan seputar takfir (menyatakan seorang telah kafir/murtad), adalah satu hal yang sangat membutuhkan perhatian dan kehati-hatian. Sebab, persoalan ini memiliki potensi MENIMBULKAN FITNAH dan COBAAN BESAR. Di titik ini terdapat perselisihan dan silang pendapat, serta memungkinkan adanya unsure HAWA NAFSU MANUSIA yang ikut terlibat dan dalil-dalil yang mereka (gunakan) padanya saling berbenturan. Sehingga, tak jarang dijumpai perdebatan terjadi di tengah umat ini.
Pada titik ekstrem, ada dua kelompok yang saling bertolak belakang. Satu pihak memegang sikap TIDAK MAU MENGKAFIRKAN SIAPAPUN yang sudah menjadi ahlu qiblah (muslim), sementara pihak yang SANGAT MUDAH MENJATUHKAN VONIS KAFIR kepada orang lain dengan sebab dosa apapun (besar atau kecil).
Efek Takfir Berlebihan (ghuluw)
Sebagaimana kita tahu bahwa Islam memiliki konsep iman dan konsep kafir. Oleh sebab itu, bisa dipahami bahwa ada pagar yang memisahkan antara keduanya, antara mukmin dan kafir. Tak jarang terjadi, orang yang tadinya memeluk Islam kemudian berubah keyakinan dengan memeluk kristen, hindu, budha, atau yang lain. Artinya, dia menyandang status sebagai seorang kafir, dia telah jelas keluar dari Islam. Yang agak berat adalah jika ada orang yang berbuat tindakan-tindakan kekufuran namun dia tidak menyadari atau tidak mengakui bahwa dirinya melakukan tindakan berbahaya yang mengancam hilangnya iman dari dirinya.
Ranah takfir muayyan ini, adalah ibarat sebuah medan berat. Dahulu, di masa khilafah Islam, tugas menjatuhkan vonis kafir kepada orang atau kelompok tertentu yang terbukti melakukan tindak kekufuran, adalah wewenang umara dengan di dampingi ulama. Sekarang ini, meski para ulama telah membahas dan merinci point-point tindakan dan perbuatan yang menjadi factor penyebab kekafiran seseorang serta kode-kode etik dalam takfir muayyan, namun pada prakteknya tidak bisa SERTA MERTA MUDAH DITERAPKAN. Dengan kondisi semacam hari ini, akan sangat sulit sekali, karena umat Islam dihadapkan pada kenyataan ketiadaan institusi yang memegang otoritas untuk menjalankan konsekuensi dari penjatuhan vonis kafir kepada seseorang individu serta mengantisipasi ekses-ekses yang mucul setelah itu.
Munculnya gerakan-gerakan Islam yang berkomposisi pemuda-pemuda dengan semangat pembelaan dien yang tinggi, telah memberi warna tersendiri dalam dunia pergerakan Islam. Alur gerak perjuangan yang begitu dinamis, lambat laun menghantarkan mereka tiba pada sebuah tuntutan untuk menetapkan lawan. Lawan yang akan sangat menentukan strategi mana yang harus dipilih sebagai rangkaian jihad fie sabilillah. Dari sini kemudian muncul fitnah itu, ghuluw dalam TAKFIR. Bahkan, terkadang pengkafiran itu tidak berhenti pada pada pihak-pihak yang memang sejak semula disinyalir melakukan tindakan kekufuran. Namun, melebar menuju pengkafiran yang dialamatkan kepada setiap orang yang berseberangan dengan mereka dalam masalah-masalah wasa’ilut taghyir (sarana perubahan untuk menegakkan khilafah).
Tak sedikit dijumpai, karena adanya KEKURANGTEPATAN ketika memahami rambu-rambu dan kode etik pengkafiran, seseorang terjebak pada sikap sangat ekstrem. Dia mudah sekali memvonis orang lain sebagai telah keluar dari islam (murtad). Akhirnya, mucul hal-hal yang lebih cocok untuk dikatakan sebuah “fenomena”. Ada orang yang tidak bersedia sholat di belakang imam yang bekerja sebagai pegawai pada dinas atau instansi pemerintahan tertentu lantaran menurutnya dia KAFIR. Ada kemudian orang yang menghalalkan pencurian barangm harta-benda milik anggota keluarganya sendiri untuk pendanaan perjuangan Islam, dengan alas an itu adalah fa’i.
Efek yang juga tidak mustahil terjadi dan lebih mengerikan lagi, adalah KEMUNGKINAN TINDAKAN PENGHILANGAN NYAWA ORANG LAIN BIGHOIRI HAQ. Dan akhirnya, kekacauan timbul, kekacauan timbul. Kekacauan itu bisa saja MERUGIKAN PERJUANGAN ISLAM, MENCIPTAKAN STIGMA BURUK PEJUANG-PEJUANG ISLAM DI MATA UMAT SENDIRI DAN MEMBUAT BANGUNAN PERJUANGAN ISLAM YANG MULAI TERSUSUN RAPI MENJADI RUNTUH KEMBALI. Karena bisa jadi umat yang pada awalnya bersimpati terhadap JIHAD ini kemudian lari dan tidak simpatik terhadap perjuangan Islam akibat kesalahan-kesalahan yang dialamatkan kepada MUJAHIDIN.
Rasulullah S.A.W. mewanti-wanti umatnya agar menghindari sikap GHULUW. Beliau sabdakan : “Jauhilah oleh kalian smua ghuluw, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian celaka lantaran ghuluw dalam urusan dien (agama).” (HR. Ahmad)
Lebih lanjut beliau memeperingatkan, Jika seorang berkata pada saudaranya “Hai Kafir”, maka telah terkena salah seorang dari keduanya. (HR. Al Bukhori)
Pata ulama yang mengkhidmatkan diri untuk jihad menegakkan kalimat Allah inipun telah banyak memperingatkan lewat berbagai buku yang mereka tulis. Diantara buku kontemporer yang turut memperkaya khazanah referensi dalam persoalan ini, misalnya, “Qawa’idu fi Takfir” karya Abu Bashir Ath Thurtusi, “Ar Risalah Ats Tsalaatsiniyyah fi tahdzir minal Ghuluwwi fi Takfir” karya Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi, serta “Ju’natul Mutibiin” karya Abu Qatadah al Filistiniy serta “Qawa’idud Takfir” karya Abdul Qadir bin Abdul Aziz.
Imam Ibnu Taimiyah mengungkapkan, “Ketahuilah, bahwa permasalahan takfir dan tafsiq adalah sebuah istilah dan hokum yang berkaitan erat dengan janji dan ancaman di akhirat. Dan berkaitan dengan perwalian dan permusuhan serta pembunuhan dan penjagaan (jiwa seseorang) serta yang lainnya di dunia. Dan sesungguhnya Allah Subhanahu Ta’ala mewajibkan jannah bagi orang yang beriman serta mengharamkan jannah bagi orang-orang kafir. Dan inilah HUKUM MENCAKUP SETIAP WAKTU DAN KEADAAN.” (Majmu’ul Fatawa, 12/251)
Beliau mengatakan, “Salah dalam istilah iman dan kufur tidak sebagaimana salah dalam masalah yang lain. Karena hukum seorang di dunia dan akhirat erat kaitannya dengan istilah iman, islam, kufur dan nifaq.” (Majmu’ul Fatawa, 7/246)
Kata “salah” yg dimaksud pada ungkapan beliau di atas, bisa jadi meremehkan atau melampaui batas dalam hal iman dan kufur. Artinya, tidak mengkafirkan orang-orang yang jelas kafir atau mengkafirkan saudaranya sendiri (muslim) adalah BENTUK KESALAHAN YANG HARUS DI JAUHI. Sebagai solusinya adalah MEMPELAJARI KITAB-KITAB PARA ULAMA’ DAN BERUSAHA UNTUK TIDAK MUDAH MENGKAFIRKAN SEBELUM JELAS KEKAFIRAN MEREKA.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar